Wayang Wong Sebagai Drama Tari Kenegaraan Keraton Yogyakarta

Kamis, 21 Oktober 2021 21:00 WIB

Share
Pagelaran Wayang Wong (Foto. Tepas Tandha Yekti)
Pagelaran Wayang Wong (Foto. Tepas Tandha Yekti)

JATIM.POSKOTA.CO.ID - Pertunjukan Wayang Wong yang disajikan secara lengkap adalah pertunjukan drama tari akbar. Pada masa puncaknya di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1239), sebuah pertunjukan Wayang Wong di Keraton Yogyakarta.

Pementasan melibatkan sekitar 300 sampai 400 penari, dan diselenggarakan selama tiga sampai empat hari berturut-turut. Mulai dari pukul 06.00 sampai 23.00 tanpa istirahat, disaksikan sekitar 30.000 penonton setiap harinya. Menghabiskan biaya 15.000 gulden untuk produksi, dan 200.000 gulden untuk pembuatan busana. Sekedar perbandingan, gaji tertinggi seorang Abdi Dalem pada masa itu hanyalah 150 gulden sebulan.

Awal Mula Wayang Wong di Jawa, atau Wayang Orang berkembang bersama dengan wayang kulit. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain. Keberadaan drama tari yang mengisahkan cerita wayang telah disebutkan pada prasasti Wimalasmara di Jawa Timur yang berangka tahun 930 Masehi.

Pagelaran Wayang Wong (Foto. Tepas Tandha Yekti)

Prasasti tersebut menyebutkan istilah wayang wwang. Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi), wayang berarti bayangan dan wwang berarti manusia.

Ketika Kerajaan Mataram Islam dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada tahun 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Yogyakarta menggubah dan mencipta ulang kesenian tersebut.

Di Yogyakarta Wayang Wong ditempatkan pada posisi terhormat, menjadi pertunjukan ritual kenegaraan, dan digelar untuk merayakan upacara penting, seperti ulang tahun penobatan atau pernikahan anak Sultan.

Pergelaran pertama di Yogyakarta diperkirakan pada tahun 1757 dengan mengangkat lakon Gandawardaya, sebuah carangan (cabang cerita) dari kisah Mahabharata.

Kala itu pertunjukan masih menggunakan pola pertunjukan wayang kulit. Panggung berbentuk sempit tetapi panjang dan pergerakan pemainnya menggunakan pola dua dimensi.

Adapun peran Wayang Wong bagi Keraton Yogyakarta, bukan hanya sekedar pertunjukan kesenian belaka. Namun sebagai ritual kenegaraan, merupakan sarana legitimasi kekuasaan.

Mencipta kembali dan mementaskan Wayang Wong tidak lama setelah berdirinya kesultanan yang baru, dapat diartikan sebagai salah satu upaya Sri Sultan Hamengku Buwono I menunjukkan keabsahannya sebagai penerus raja-raja Jawa.

Sebagaimana tari gaya Yogyakarta yang lain, belajar dan berlatih Wayang Wong juga merupakan sarana pendidikan jiwa dan tata krama. Tidak heran apabila banyak peran penting dalam pementasan Wayang Wong dimainkan langsung oleh putra-putra Sultan sendiri, dan selalu menasehati untuk mengasah kemampuan menari.

Ketika pemerintah kolonial makin menekan Kesultanan Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, keraton menggunakan Wayang Wong sebagai strategi kebudayaan dalam menghadapi tekanan tersebut.

Karena terhimpit secara militer dan politik administratif, Sultan menggelar banyak pementasan secara akbar untuk menunjukkan kebesarannya sebagai seorang Raja. (GG)**

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar
Berita Terpopuler